Hidup itu seperti Flying Fox!

Butuh keberanian besar untuk mengambil sebuah keputusan. Meskipun itu berarti memutuskan untuk pasrah. Jika kau tidak punya keberanian untuk meloncati jurang rasa takutmu, maka biarkan, tunggu saja, tunggu sampai keadaan yang memaksamu melompatinya. Persoalannya hanyalah tentang menjatuhkan diri dengan penuh keberanian (meskipun setidaknya pura-pura memiliki keberanian) atau menunggu sesuatu menjatuhkanmu. Keadaannya tidak berbeda. Hanya saja, sikap yang kita ambil lah yang berbeda.

Rasa kecut merayap cepat ketika aku berdiri di ketinggian sepuluh meter. Aku memang takut ketinggian. Tapi rasa takut seringkali adalah batasan sendiri yang kita buat. Seperti rangkaian peraturan pribadi yang mengikat kita dengan diri sendiri. Rasa takut seperti garis batas, undang-undang yang kita rancang dan sahkan sendiri. Akibatnya, ketika dengan penuh rasa ingin tahu untuk mengikuti salah satu wisata outbond bersama kawan-kawan, mau tidak mau, rasa takutku atas ketinggian harus dihapuskan. Jika pun tidak bisa dikurangi perlahan, maka sudah saatnya dibunuh tiba-tiba.

Melintasi jaring demi jaring, memanjat tembok batas yang tinggi hingga berjalan di atas sebuah tali. Bukan itu yang paling membuatku kecut. Memang bukan ketinggian yang semacam itu. Tapi ketinggian yang mengerikan ketika aku harus meloncat dari titik sepuluh meter. Flying fox! Sebuah kegilaan yang dirancang manusia untuk meloncati jurang rasa takut mereka sendiri. Tidak bisa kupungkiri, kakiku seperti hendak pergi ke arah berlawanan. Tepat ketika alat pengamanan telah dikenakan, maka jantungku, aku berusaha memastikan masih ditempatnya. Satu hal bodoh yang kulakukan adalah mengulur-ngulur waktu. Memandang jauh ke bawah lintasan yang akan kulewati dan mencoba mengatakan di dalam hati bahwa: "jika mereka bisa maka artinya aku pun pasti bisa". Tapi sayang! itu belum cukup!

Pernahkah kau membaca kisah-kisah tentang peri yang bisa terbang? Mereka memiliki sayap mungil yang mengepak amat cepat, yang dihitung dalam kecepatan cahaya. Jika aku menjadi peri, maka aku tidak akan terbang hingga ketinggian sepuluh meter atau lebih. Tapi itu konyol. Rasa takut lah yang sering membatasi kemampuan kita. Seringkali, dan selalu, perasaan rendah diri dan tidak mampu itu adalah bangunan puncak dari rasa takut yang terlalu mengekang. Maka kuputuskan di saat itu untuk membunuh rasa takutku dengan cara yang sedikit sadis. Pilihannya hanya dua. Meloncat atau menunggu sesuatu menjatuhkanmu. Maka, jikalau pun aku dianugerahkan perasaan takut ketinggian, aku memutuskan untuk tidak mau terlihat konyol dengan menjadi pengecut. Setidaknya, meskipun penuh rasa takut, aku telah memutuskan untuk 'pura-pura' memiliki keberanian. Aku meloncat dengan anggun, Meloncat dengan penuh keberanian. Membiarkan udara ketinggian 10 meter itu menembus pori-pori kulitku hingga membuat jantungku menggigil. Ya, aku telah membuat keputusan!

Sebuah pelajaran sederhana yang kuambil pada 'outbond' ku yang pertama kali seumur hidup! Maka aku tuliskan disini. Sungguh, hidup itu seperti flying fox, kau harus meloncat penuh keberanian, atau menunggu sesuatu menjatuhkanmu. Maka tahukah kau apa yang kulakukan? Aku meloncat dengan 'pura-pura' penuh keberanian, tapi dengan mata terpejam penuh ketakutan.


Me

Posted in Label: , | 2 komentar

Alangkah Lucunya Negeri Ini

Waktu pertama kali di ajak teman nonton film ini, aku langsung merasa tertarik. Pertama, dari pemainnya, om Deddy Mizwar. Bagaimanapun aku punya memori positif tentang semua film yang dibintangi oleh om Deddy Mizwar. Pokoknya bukan sekadar film hiburan, begitulah kira2. Jadi dengan penuh semangat kami pun membeli tiket untuk nonton film. Meskipun malam hari.

Tepat pukul setengah delapan malam, film pun dimulai. Tapi hanya sekitar lima menit, suara tawa sudah memenuhi ruang bioskop. Tepatnya ketika adegan si Muluk (pemain utamanya yang lulusan Sarjana Manajemen) sedang melamar pekerjaan, eh ternyata tempat melamar kerjanya sedang disita bank. Adegan kedua cuma berselang tidak lebih dari sepuluh menit, kembali suara tawa memenuhi bioskop. Kali ini si Muluk tidak mendapat pekerjaan karena sudah tidak ada lagi lowongan pekerjaan. Si Muluk hanya ditawari bekerja sebagai TKI, tapi ditolaknya karena takut dicambuk majikan. (emangnya mau jadi PRT).
Film ini bukan hanya bisa ditonton bersama keluarga, tapi juga bisa bikin tertawa sekeluarga. Ada banyak ironi yang disajikan secara sederhana tapi mengena. Bagaimana rumitnya seorang sarjana pendidikan menjelaskan tentang arti pendidikan pada anak-anak pencopet. Bayangkan jika ada anak pencopet yang bercita-cita kalau sudah besar mau jadi Koruptor, hualaahh...Betapa si Muluk yang penggangguran tapi sarjana justru menemukan arti hidup setelah mengajari anak-anak pencopet dan dibayar dari uang hasil copet. Meskipun tujuan Muluk adalah baik, yakni supaya anak-anak pencopet juga punya masa depan yakni dengan mengumpulkan uang hasil copet dan mulai karir sebagai pengasong, namun tetap saja hal itu membuat shock ayah Muluk yang tak lain adalah seorang yang taat beragama. Tidak hanya itu, Muluk dkk harus menghadapi kendala anak-anak copet yang tidak mau mengubah profesi mereka dengan berbagai alasan. 

Semuanya disajikan lucu dan mengena dalam film ini.  pokoknya film Om Deddy Mizwar dkk ini dapat diacungi jempol. Ini dia satu lagi film anak negeri yang menonjolkan kualitas.

Coba tebak bagaimana akhirnya nasib si Muluk dan teman-temannya. Gambaran nyata negeri ini. Memang benar, Alangkah Lucunya Negeri Ini!

mendingan nonton langsung aja...hehehe...dijamin gak rugi.

Posted in Label: | 0 komentar

Oleh2 Khas Minang

Oleh2 Khas Minang
Rendang Telur, Rp.45.000/kemasan isi 0,5 kg. CP:Widia (08982605727/08126795642)