Alangkah Lucunya Negeri Ini
Posted On Kamis, 06 Mei 2010 at di 15.27 by chytraTepat pukul setengah delapan malam, film pun dimulai. Tapi hanya sekitar lima menit, suara tawa sudah memenuhi ruang bioskop. Tepatnya ketika adegan si Muluk (pemain utamanya yang lulusan Sarjana Manajemen) sedang melamar pekerjaan, eh ternyata tempat melamar kerjanya sedang disita bank. Adegan kedua cuma berselang tidak lebih dari sepuluh menit, kembali suara tawa memenuhi bioskop. Kali ini si Muluk tidak mendapat pekerjaan karena sudah tidak ada lagi lowongan pekerjaan. Si Muluk hanya ditawari bekerja sebagai TKI, tapi ditolaknya karena takut dicambuk majikan. (emangnya mau jadi PRT).
Film ini bukan hanya bisa ditonton bersama keluarga, tapi juga bisa bikin tertawa sekeluarga. Ada banyak ironi yang disajikan secara sederhana tapi mengena. Bagaimana rumitnya seorang sarjana pendidikan menjelaskan tentang arti pendidikan pada anak-anak pencopet. Bayangkan jika ada anak pencopet yang bercita-cita kalau sudah besar mau jadi Koruptor, hualaahh...Betapa si Muluk yang penggangguran tapi sarjana justru menemukan arti hidup setelah mengajari anak-anak pencopet dan dibayar dari uang hasil copet. Meskipun tujuan Muluk adalah baik, yakni supaya anak-anak pencopet juga punya masa depan yakni dengan mengumpulkan uang hasil copet dan mulai karir sebagai pengasong, namun tetap saja hal itu membuat shock ayah Muluk yang tak lain adalah seorang yang taat beragama. Tidak hanya itu, Muluk dkk harus menghadapi kendala anak-anak copet yang tidak mau mengubah profesi mereka dengan berbagai alasan.
Semuanya disajikan lucu dan mengena dalam film ini. pokoknya film Om Deddy Mizwar dkk ini dapat diacungi jempol. Ini dia satu lagi film anak negeri yang menonjolkan kualitas.
Coba tebak bagaimana akhirnya nasib si Muluk dan teman-temannya. Gambaran nyata negeri ini. Memang benar, Alangkah Lucunya Negeri Ini!
mendingan nonton langsung aja...hehehe...dijamin gak rugi.
Melupakan tulisan
Posted On Selasa, 13 April 2010 at di 17.57 by chytraSudah sebulan sejak aku meninggalkan rumah. Mencoba hidup dalam suasana dan lingkungan baru. Mencoba memperjuangkan sesuatu yang aku sendiri masih tidak begitu kukuh. Benarkah langkah yang telah diambil? Tapi bukankah Allah SWT juga yang mentakdirkan keberadaanku disini? di kota ini? di kota yang berbeda.
Hal yang paling berat adalah meninggalkan setumpuk tulisan-tulisanku di rumah. di dalam komputer, di dalam folder gemukku yang padat isi. Di dalam sana sejumlah rentetan kata-kata kusimpan rapi. Entah bermakna entah tidak siapa peduli, Entah dibaca entah tidak aku tak ambil pusing. Aku suka menuliskannya. Membiarkan jari-jariku meletupkan suaranya sendiri. Membiarkan kata-kata mengalirki keyboard dan baru berhenti ketika otakku sudah buntu, mati.
Cukup lama untuk menyadri sebulan ini kebiasaan itu sudah kutinggalkan. Di kota baru ini, di tempat tinggal yang kost-kostan ini, tanpa komputer, apalagi laptop, sebuah kesulitan secra psikologi. Berat hati harus melupakan tulisan-tulisan. Sungguh berat jika harus berhenti dari sesuatu yang kusukai, Sesuatu yang membuatku terbangun dan berani kukuh bermimpi, untuk menjadi penulis di suatu hari nanti. Sungguh kawan, hanya perbedaan tipis antara, mimpi dan kenyataaan.....
Akoe
yang tak kan Melupakan Tulisan